Kisah Heroik Seorang Veteran Perang Pejuang Kemerdekaan RI
SK Pengakuan, Pengesahan, dan Penganugerahan Gelar Kehormatan Veteran Pejuang Kemerdekaan RI kepada Bpk. Singgih Gugat yang dikeluarkan di Jakarta pada tanggal 19 Oktober 1990 oleh Menteri Pertahanan dan Keamanan RI Jenderal LB. Moerdani. (Istimewa)

Oleh : Lucky C. Gugat SE. MM.
Wakil Ketua Umum Bidang Economic Engineering Pengurus Pusat Yayasan Perubahan (Yayasan Petranas)

Saya terlahir sebagai anak kedua dari 7 bersaudara, putra seorang almarhum veteran perang yang bernama Singgih Gugat, kelahiran Blitar, 13 Agustus 1927.

Ayah saya adalah anggota LVRI (Legiun Veteran Republik Indonesia) yang berasal dari TRIP (Tentara Republik Indonesia Pelajar) Ex Brigade 17 Jawa Timur yang sudah meninggal dunia pada tahun 2010 silam saat usianya menjelang 83 tahun.

Sejak kecil, terutama saat remaja hingga usia muda, saya sering kali berbincang dan ngobrol dengan almarhum ayah seputar pengalaman heroik beliau saat beberapa kali ikut berperang. Salah satu yang pernah dijalaninya adalah saat menyerang tentara Jepang pada tahun 1942, di mana para tentara TRIP Jawa Timur menyerang markas komando tentara Jepang yang terjadi di beberapa kota di wilayah Jawa Timur.

Saat itu, beliau menjadi salah satu tentara TRIP yang menyerang markas tentara Jepang pada tahun 1942 di Blitar yang dipimpin oleh Supriyadi sebagai komandan pasukan, yang kemudian dalam sejarah lebih dikenal sebagai perang PETA (Pembela Tanah Air).

TRIP sendiri awalnya dibentuk oleh tentara Jepang, di mana mereka mengatakan datang ke Indonesia sebagai saudara tua yang akan membantu rakyat Indonesia menghadapi kolonial Belanda. Mereka mengumpulkan para pemuda, khususnya pelajar, untuk bergabung dan dididik menjadi tentara yang dalam istilah Jepang disebut Heiho, memiliki kemampuan fisik yang prima, kemampuan dalam berperang, serta dipersenjatai dengan senjata lengkap tidak bedanya dengan tentara Jepang sendiri.

Namun, pada perkembangannya, para tentara pelajar ini melihat langsung bagaimana perilaku tentara Jepang yang sangat buruk dan sangat biadab memperlakukan rakyat pribumi. Mereka menerapkan kerja paksa (romusha) tanpa bayaran, makanan yang minim, bahkan banyak di antara pekerja yang tidak diberi makan, menyiksa para pekerja, banyak pekerja yang sakit tidak diberikan pengobatan hingga banyak yang mati di lokasi kerja paksa tersebut.

Selain itu, para tentara Jepang ini memperlakukan wanita-wanita pribumi sebagai budak seks mereka, hingga berlaku kasar secara fisik kepada anak-anak dan wanita pribumi yang sudah berusia lanjut.

Lucky Gugat SE. MM.
Lucky C. Gugat SE. MM. (Istimewa)

Hingga mencapai titik nadirnya, muaklah para tentara pelajar ini hingga merencanakan penyerangan ke markas tentara Jepang. Singkat cerita, serangan dilakukan tengah malam menjelang dini hari dan berlangsung berhari-hari. Banyak tentara Jepang yang mati dalam perang PETA ini, begitu pun banyak tentara anggota TRIP yang wafat, ditangkap, ditahan, dan dijatuhi hukuman mati.

Alhamdulillah, ayah saya selamat, namun sang komandan mereka yakni Supriyadi tertangkap dan ditahan tentara Jepang. Namun, tidak didapat informasi selanjutnya mengenai kondisi beliau, bahkan hingga saat ini tidak ada yang tahu kapan beliau wafat dan di mana dikebumikan.

Nah, di luar cerita perang PETA tersebut, ada lagi cerita yang seru, menarik, dan “maaf” agak setengah lucu tapi juga “ngeri” yang diceritakan oleh ayah saya, yakni saat beliau berperang melawan Belanda (namun saya lupa apakah berperang saat Agresi Belanda pertama atau kedua, atau perang lainnya sebelum kemerdekaan RI).

Ceritanya, saat berperang dan berpencar sesama tentara, di satu waktu ayah saya berlari sendirian dan seketika terhentak langkahnya saat bertemu berhadap-hadapan dengan seorang tentara Belanda dengan postur badan tinggi besar dan tegap. Mereka saling menatap satu sama lain dalam posisi sama-sama siap menembak.

Namun, keduanya tidak melakukannya, dan seketika itu tentara Belanda mengatakan dengan keras dalam bahasa Belanda yang kurang lebih artinya, “Jatuhkan senjatamu dan mari kita duel (berkelahi).” Ayah saya mengerti perkataannya karena beliau memang fasih berbahasa Belanda; beliau sejak sekolah dasar hingga sekolah menengah atas bersekolah di sekolah Belanda karena ayahnya seorang kepala sekolah.

Saat mendengar tantangan duel dari tentara Belanda tersebut, ayah saya sontak langsung berpikir akan kalah dalam duel tersebut dan akan lanjut ditembak mati, karena perbandingan postur tubuh yang berbeda jauh, ayah saya berukuran rata-rata orang Indonesia saat itu, sementara tentara Belanda bertubuh tinggi besar dan kekar.

Ayah saya memutar otak dan sekian detik kemudian langsung mendapatkan ide dan siasat. Seketika, di saat kedua tentara yang saling berhadapan tersebut menjatuhkan senjata mereka masing-masing, ayah saya bergerak berlari sangat cepat, membungkuk, menubruk, dan menghantamkan kepalan tangannya ke arah kemaluan (buah zakar) tentara Belanda.

Sekejap tentara Belanda tersebut goyah, dihantam kembali dan terjatuh, dan ayah saya langsung mengambil senjata lawan dan menghantamkannya ke kepala lawannya hingga tak sadarkan diri. Kemudian, ayah saya mengambil senjata satu lagi dan meletuslah timah panas dari salah satu senjata api yang dipegangnya dan langsung berlari cepat meninggalkan lawannya yang sudah tak bernyawa.

Wah, sangat heroik sekali. Saya sangat tertegun setiap kali mendengar atau membayangkan kembali cerita heroik tersebut. Begitu tenang walau dalam keadaan terdesak dan tertekan, beliau masih bisa berpikir jernih hingga timbul ide yang menurut saya sangat cerdas dan spektakuler, yang saya sendiri pun membayangkan mungkin saya tidak bisa berbuat seperti ayah saya tersebut.

Cukup seringnya saya mendengar cerita kisah sang ayah dan juga membaca buku-buku cerita sejarah dan peperangan, membuat jiwa nasionalis saya tetap terpelihara dan menggelora setiap saat, terutama di saat peringatan hari proklamasi kemerdekaan RI setiap tahunnya, yang selalu mengingatkan kembali kisah heroik nyata yang dialami ayah saya dan pastinya juga banyak cerita dari para pahlawan dan veteran perang lainnya di Indonesia.

Semoga almarhum Bapak Singgih Gugat, sang veteran perang anggota TRIP (Tentara Republik Indonesia Pelajar) dan anggota LVRI (Legiun Veteran Republik Indonesia), diampuni segala dosanya dan ditempatkan terbaik di sisi Allah SWT. Aamiin Yaa Rabbal ‘Alamin.

Terkhusus dalam era zalimnya pemerintahan 10 tahun belakangan ini, telah menggelorakan hasrat saya untuk meneruskan perjuangan yang telah dilakukan oleh ayah saya dan ribuan pejuang lainnya yang telah berkorban nyawa dan harta benda, untuk kita kembalikan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) menjadi bangsa dan negara yang benar-benar merdeka dan beradab, yang selalu memikirkan nasib rakyatnya dan mensejahterakan seluruh lapisan masyarakat Indonesia, serta menjadikan bangsa yang besar ini disegani oleh bangsa-bangsa lainnya di seluruh dunia, dan pastinya melalui wadah 5 Pilar Gerakan Perubahan, Insya Allah…

Dirgahayu Kemerdekaan Republik Indonesia ke-79 – 17 Agustus 2024. []