
Oleh : Guntur Surya Alam
Ketua Petranas DIY/Founder Lekasehat/Dokter Spesialis Bedah Anak/Konsultan
Dalam sebuah putusan yang menggemparkan, Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Hakim Suhartoyo telah mengabulkan gugatan Partai Gelora terkait ambang batas pencalonan kepala daerah. Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 ini menetapkan bahwa Pilkada akan ditentukan berdasarkan perolehan suara sah partai politik atau gabungan partai politik yang disesuaikan dengan jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu 2024 di masing-masing daerah. Ini menjadi langkah revolusioner dalam perpolitikan daerah yang selama ini diatur dengan ketat oleh undang-undang sebelumnya.
Putusan ini mengklasifikasikan besaran suara sah menjadi empat kategori, yakni 10 persen, 8,5 persen, 7,5 persen, dan 6,5 persen, tergantung pada besaran DPT di masing-masing daerah. Dampaknya, koalisi di berbagai daerah terguncang hebat, membuat dinamika politik berubah drastis. Banyak partai yang selama ini merasa aman dengan agendanya tiba-tiba terpukul oleh keputusan ini yang datang menjelang batas akhir pendaftaran calon kepala daerah.
Namun, kita harus ingat bahwa apa pun keputusan MK, suka atau tidak suka, bersifat final dan mengikat. Inilah kenyataan dari dinamika politik yang sering kali diwarnai oleh kejutan-kejutan tak terduga. Tidak jarang, rencana yang telah disusun rapi berubah drastis dalam sekejap akibat keputusan yang pragmatis dan realistis dari lembaga hukum tertinggi ini.
Dalam perkembangan terkini, terlihat bahwa perang antarlembaga negara, yakni DPR RI versus MK, telah mulai terjadi. DPR, yang dikenal sebagai perwakilan rakyat, tampaknya membackup penuh ambisi penguasa saat ini. Keterlibatan Presiden yang begitu kuat dalam mendorong putra mahkota ke-2 untuk menguasai daerah-daerah strategis semakin menguatkan dugaan bahwa ada agenda besar yang harus terwujud, walau harus menabrak konstitusi sekalipun.
Keputusan MK untuk menurunkan ambang batas suara partai pengusung menjadi 7,5% dari 20% membuat DPR bereaksi cepat. Dalam waktu singkat, DPR mengagendakan sidang untuk mengembalikan ambang batas tersebut ke 20%. Ini menunjukkan bahwa dua lembaga negara ini sedang berada dalam konflik terbuka. Pertarungan ini menjadi penentu nasib demokrasi di negeri ini; apakah ada kesepakatan yang akhirnya akan mengorbankan kepentingan rakyat?
Rencana Badan Legislasi (Baleg) DPR untuk menggelar rapat setelah putusan MK ini memperlihatkan betapa ketidakkompakan lembaga negara semakin nyata. Ketidakkompakan ini bukanlah sekadar pertarungan biasa, melainkan tanda-tanda kehancuran republik ini yang disebabkan oleh ambisi seorang penguasa. Begitu kuatnya sihir kekuasaan sehingga mampu merusak tatanan negara yang selama ini dijaga dengan ketat oleh berbagai aturan dan undang-undang.
Saat ini, semua mata tertuju pada pertarungan antara DPR RI dan MK. Apakah MK akan tetap teguh pada pendiriannya sebagai lembaga independen, atau akhirnya tunduk pada tekanan dari kekuasaan yang didukung oleh DPR? Jika kedua lembaga ini pada akhirnya saling berbaikan dan menghasilkan kesepakatan yang mengabaikan kepentingan rakyat, maka kita harus bersiap untuk mengucapkan selamat tinggal pada Indonesia yang kita kenal.
Namun, di tengah ketidakpastian ini, saatnya bagi rakyat untuk menunjukkan perlawanan. Seperti yang dikatakan oleh Pak Dahlan Iskan, “Gempa MK sedang terjadi dan sebentar lagi akan disusul oleh Tsunami Rakyat.” Ketika kemarahan rakyat sudah tak terbendung, apa pun yang ada di depannya akan dilibas habis.
Akhirnya, ini adalah momen untuk bergandengan tangan, memperkuat dan mengokohkan benteng pertahanan bangsa. Pilihan ada di tangan kita semua: apakah kita akan merdeka atau kembali terjajah oleh ambisi segelintir penguasa? []