Perubahan Regulasi Kesehatan di Indonesia: Dampak pada Peran Ikatan Dokter Indonesia (IDI)
Ilustrasi kedokteran (Istimewa)

Oleh : Guntur Surya Alam
Ketua Petranas DIY/Founder Lekasehat/Dokter Spesialis Bedah Anak/Konsultan

Dunia kesehatan di Indonesia telah mengalami perubahan signifikan sejak diberlakukannya UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Omnibus Law Kesehatan. Undang-undang ini mencabut 11 regulasi sebelumnya, termasuk UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, yang mengubah struktur dan mekanisme peran Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sebagai organisasi profesi medis. Artikel ini membahas dampak regulasi baru tersebut terhadap IDI, terutama dalam aspek etika medis.

Transformasi Peran IDI dalam Aspek Legal dan Mutu

Pada undang-undang sebelumnya, IDI memiliki peran dalam aspek legal, mutu, dan etika pelayanan dokter. Namun, dengan undang-undang baru, kewenangan IDI dalam dua aspek pertama mengalami pengurangan drastis:

  1. Penerbitan Surat Izin Praktik (SIP):
    Penerbitan SIP dokter kini tidak lagi membutuhkan rekomendasi IDI. SIP diterbitkan oleh dinas kesehatan berdasarkan Surat Tanda Registrasi (STR), surat keterangan tempat praktik, dan bukti kompetensi medis yang diselenggarakan oleh Kementerian Kesehatan bekerja sama dengan kolegium profesi atau institusi pendidikan.
  2. Mutu Pelayanan dan Kompetensi:
    Pemenuhan kompetensi medis, termasuk Satuan Kredit Profesi (SKP), sepenuhnya ditentukan dan diawasi oleh Kementerian Kesehatan. Aspek seperti profesionalisme, pendidikan berkelanjutan, dan publikasi ilmiah kini berada di bawah kendali pemerintah, bukan lagi IDI.

Peran Tersisa: Penjaga Etika Medis

IDI tetap memegang peran dalam menjaga etika medis, yang menjadi elemen penting untuk memastikan dokter menjalankan profesi secara bermartabat. Peran ini relevan dalam konteks Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan, yang mendefinisikan kecurangan (fraud) dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). IDI terlibat dalam tim pencegahan kecurangan di tingkat kabupaten/kota, bersama unsur dinas kesehatan, BPJS, dan asosiasi fasilitas kesehatan.

Potensi Kecurangan oleh Dokter dalam Pelayanan Kesehatan

Regulasi baru ini mempertegas pentingnya peran etika untuk mengatasi berbagai bentuk kecurangan yang mungkin dilakukan dokter, seperti:

  • Manipulasi Diagnosis: Mengubah diagnosis untuk meningkatkan nilai klaim, misalnya menyatakan apendisitis akut dengan komplikasi yang sebenarnya tidak ada.
  • Klaim Palsu dan Penjiplakan Rekam Medis: Mengajukan tagihan atas layanan yang tidak diberikan atau menduplikasi klaim pasien lain.
  • Pemecahan Episode Pelayanan: Memisahkan klaim untuk prosedur yang seharusnya menjadi satu paket layanan demi meningkatkan keuntungan.
  • Rujukan Semu: Mengarahkan pasien ke fasilitas lain tanpa indikasi medis demi mendapatkan insentif tambahan.
Advokasi Etika dan Implementasi Good Clinical Governance

Untuk mencegah kecurangan, IDI berperan sebagai pengawal etika dengan mendorong penerapan Good Clinical Governance, yang mencakup:

  • Penetapan kewenangan dan tugas dokter secara rinci.
  • Penyusunan dan kepatuhan terhadap Standar Operasional Prosedur (SOP) klinis sesuai Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK).
  • Peningkatan kemampuan dokter dalam sistem coding klaim dan pengisian resume medis secara akurat.
Kesimpulan

Transformasi regulasi melalui UU Omnibus Law Kesehatan mengubah peran IDI secara signifikan, menyisakan tanggung jawab utama dalam penjagaan etika medis. Dalam menjalankan fungsi ini, IDI perlu meningkatkan advokasi dan pengawasan untuk mencegah kecurangan serta memastikan dokter tetap memberikan pelayanan sesuai standar etik dan profesionalisme. Langkah ini penting demi keberlangsungan sistem kesehatan nasional yang kredibel dan adil. []