BGN Menggerogoti Dana Pendidikan: Janji Kampanye dan Ribuan Anak Jadi Korban
Sejumlah siswa sekolah dasar sedang menikmati makan siang program Makan Bergizi Gratis dari pemerintah (istimewa)

Ditulis oleh: Siska Mariska, Pengurus Daerah Propinsi Kepulauan Riau

Batam-Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digadang-gadang sebagai terobosan besar pemerintah, kini justru berubah menjadi momok. Alih-alih menjamin kesehatan siswa, program ini menimbulkan serangkaian kasus keracunan massal di berbagai daerah.

Kabupaten Bandung Barat, mencatat lebih dari 1.000 siswa harus mendapat perawatan medis setelah menyantap makanan MBG. Pemkab bahkan menetapkan status Kejadian Luar Biasa (KLB). Namun, kasus di Bandung Barat hanyalah puncak gunung es.

Menurut catatan Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), hingga 21 September 2025 jumlah korban keracunan akibat program MBG sudah mencapai 6.451 orang. Data ini dipaparkan dalam gelar audiensi dengan komisi IX DPR RI Rabu, 24 September 2025.

Provinsi dengan Kasus Tertinggi:
1. Jawa Barat: 2.012 kasus
2. DIY: 1.047 kasus
3. Jawa Tengah: 722 kasus
4. Bengkulu: 539 kasus
5. Sulawesi Tengah: 446 kasus

Koordinator Nasional JPPI, Ubaid Mataji menyampaikan bahwa data ini menunjukkan bahwa masalah MBG bukan insiden lokal, melainkan fenomena nasional yang mengancam keselamatan anak-anak di banyak daerah.

Masalah Struktural dalam Program MBG

Sejumlah fakta di lapangan memperlihatkan bahwa persoalan MBG bukan sekadar kesalahan teknis, melainkan sistemik dan sarat kepentingan politik.

* Guru Jadi Tumbal.
Guru, yang seharusnya fokus mengajar, dipaksa mengambil peran tambahan: mengontrol distribusi tray makanan, menghitung jumlah, bahkan mengganti apabila ada tray yang hilang. Hal ini tidak hanya menambah beban kerja, tetapi juga merendahkan martabat profesi guru.

* Konflik Kepentingan Dapur.
Banyak laporan menunjukkan keterlibatan oknum tim sukses, anggota legislatif, hingga aparat militer dalam bisnis dapur MBG. Sementara itu, UMKM sekitaran sekolah nyungsep gulung tikar.

* Pengawasan Pemerintah Daerah Lemah/Tidak Dilibatkan.
Dinas Kesehatan dan Dinas Pendidikan tidak diberi peran yang memadai dalam mengawasi standar kebersihan, keamanan pangan, maupun distribusi. Akibatnya, kasus keracunan sering ditangani tanpa prosedur baku, hanya berdasarkan inisiatif masing-masing sekolah atau daerah.

* Akuntabilitas Gagal.
Badan Gizi Nasional (BGN) sebagai pelaksana pusat tidak memiliki SOP yang jelas dalam menangani insiden. Transparansi penggunaan anggaran pun dipertanyakan, terutama karena tidak ada laporan publik yang detail mengenai rantai distribusi maupun audit kualitas makanan.

* Standar Gizi Bermasalah.
Beberapa menu MBG terbukti tidak memenuhi standar gizi anak sekolah. Ada yang kalorinya rendah, kualitas protein minim, hingga penyajian yang tidak higienis.

* Hak dan Nyawa Anak Terancam.
Kasus keracunan massal membuktikan bahwa program yang diklaim menyehatkan anak justru membahayakan hak hidup mereka.

Dana Pendidikan yang Diserobot Ugal-ugalan

Permasalahan semakin serius ketika menyoal sumber pendanaan. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional jelas mengamanatkan 20% APBN untuk pendidikan. Namun, Presiden sendiri mengakui bahwa program MBG ke depan akan mengambil porsi besar dari alokasi anggaran pendidikan.

Artinya, dana yang seharusnya digunakan untuk memperbaiki kualitas pendidikan justru tersedot untuk proyek pangan yang belum terbukti efektif.

Fakta di lapangan menunjukkan:
* 60% bangunan sekolah di Indonesia dalam kondisi rusak.
* Kesejahteraan guru honorer masih jauh dari layak.
* Putusan Mahkamah Konstitusi menegaskan hak anak atas pendidikan dasar dan menengah gratis, yang justru semakin terabaikan.

Dengan kondisi ini, MBG tampak seperti program populis yang lebih mementingkan citra politik ketimbang kebutuhan mendesak pendidikan bangsa.

Janji Kampanye vs Realitas

Program MBG diawali sebagai “Janji Kampanye Presiden” untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Namun, realitas di lapangan menunjukkan sebaliknya:
Anak-anak tidak mendapatkan makanan bergizi, malah keracunan.
Guru kehilangan fokus mengajar karena diseret menjadi “petugas logistik”.
UMKM lokal mati, sementara pihak-pihak dekat kekuasaan panen keuntungan.
Anggaran pendidikan terkuras, sementara sekolah rusak dan guru miskin dibiarkan.

Indonesia saat ini menghadapi krisis pendidikan. Daripada memperbaiki sekolah, meningkatkan kualitas guru, atau memperluas akses pendidikan, dana justru diarahkan ke program MBG yang cacat sejak desain hingga implementasi.

Pertanyaan mendasar yang harus dijawab pemerintah:
Apakah kita rela masa depan anak-anak bangsa digadaikan demi sebuah program yang sarat kepentingan politik? Apakah kita akan membiarkan janji kampanye menjadi lebih penting daripada hak anak atas pendidikan berkualitas?

Program MBG bukan hanya perlu mendapat tanggapan untuk segera dievaluasi bahkan dihentikan oleh presiden, tetapi juga program ini telah menggerogoti dana pendidikan dan mengkhianati amanat undang-undang.