
Pernyataan tajam Edy Mulyadi ini menjadi sorotan utama, khususnya karena ia menyinggung momen krusial pertemuan antara Jokowi dan Prabowo yang terjadi pada 13 Oktober 2024. Menurut Edy, sejak tanggal tersebut, yang notabene menjelang pelantikan resmi, Jokowi telah memberikan “serangkaian perintah” kepada Prabowo. Perintah-perintah inilah yang diyakini banyak pihak, termasuk Edy Mulyadi, sebagai kunci yang “menyandera” kebebasan dan independensi Presiden Terpilih hingga saat ini, hampir setahun masa jabatannya.
Isu penyanderaan ini mengemuka sebagai upaya untuk menjelaskan pergerakan dan kebijakan yang diambil oleh pemerintahan baru. Spekulasi mengenai “serangkaian perintah” tersebut telah lama beredar di kalangan pengamat dan elite politik, namun kali ini dikemukakan dengan lugas sebagai akar masalah utama. Para pengamat menduga perintah tersebut berkaitan dengan kelanjutan program strategis era Jokowi, seperti pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) dan kebijakan hilirisasi, serta penempatan figur-figur tertentu di posisi-posisi kunci kabinet dan lembaga negara.
Pembelaan untuk Prabowo dan Fokus ke Pelaku
Menariknya, di tengah kritik yang sering ditujukan kepada kinerja Prabowo yang dianggap belum sepenuhnya memuaskan publik, Edy Mulyadi justru mengambil posisi membela. Ia mengakui bahwa banyak hal positif yang telah dilakukan oleh Prabowo sejak menjabat, meskipun di sisi lain, masih banyak harapan masyarakat yang belum terpenuhi. Namun, ia menegaskan bahwa kurangnya kepuasan itu tidak murni disebabkan oleh inkompetensi Prabowo.
“Pada konteks ini, Prabowo adalah korban. Korban penyanderaan,” ujar Edy Mulyadi, mengalihkan fokus dari kritik terhadap Presiden yang sedang menjabat. Menurutnya, tidak pantas jika publik terus-menerus “memaki dan menghujat” Prabowo atas kondisi yang dihadapinya. Pandangan ini menempatkan Prabowo sebagai sosok yang terperangkap dalam skema politik yang dirancang oleh pendahulunya.
Edy Mulyadi menekankan bahwa sasaran utama kritik dan tindakan hukum seharusnya diarahkan kepada sumber masalah, yakni mantan Presiden Jokowi. Ia menyerukan agar publik fokus pada “pelaku penyanderaan” alih-alih pada korban yang terbelenggu. Pandangan ini secara implisit menantang para pengkritik untuk melihat akar permasalahan sistemik yang lebih dalam dalam transisi kekuasaan.
Tuntutan Penegakan Hukum dan Dampak Politis
Sebagai langkah radikal untuk mengakhiri dugaan intervensi ini, Edy Mulyadi mengeluarkan tuntutan keras dan eksplisit: “Tangkap dan adili Jokowi, karena dia sumber masalah.” Tuntutan ini didasarkan pada keyakinan bahwa penegakan hukum terhadap mantan orang nomor satu di Indonesia tersebut adalah satu-satunya cara untuk memutus rantai kendali yang masih membayangi Istana Negara.
Edy Mulyadi berpendapat, jika Jokowi berhasil diadili, hal itu secara otomatis “akan mengakhiri penyanderaan kepada Prabowo,” sekaligus membebaskan para Ketua Umum partai politik dan sejumlah pejabat tinggi yang menurutnya juga terikat oleh pengaruh atau “perintah” dari mantan Presiden. Tuntutan ini menggarisbawahi dugaan meluasnya pengaruh Jokowi yang tidak hanya terbatas pada eksekutif, tetapi juga menyentuh pimpinan partai koalisi dan birokrasi.
Meskipun Edy Mulyadi dikenal sebagai tokoh yang vokal dan pernah melontarkan kritik keras, termasuk saat mengaitkan Prabowo dengan istilah “macan mengeong” pada tahun 2022, kali ini ia justru membela Prabowo dengan menempatkannya sebagai pihak yang dirugikan. Perubahan narasi ini menunjukkan adanya pergeseran fokus kritik, dari kebijakan individu Prabowo menjadi sistem yang diduga dikendalikan dari luar.
Tentu saja, pernyataan yang menuntut penangkapan dan pengadilan terhadap mantan Presiden merupakan isu yang sangat sensitif dan berpotensi memicu gejolak politik yang besar. Tuntutan ini memerlukan dasar hukum dan bukti yang kuat untuk dapat diproses lebih lanjut. Hingga berita ini ditulis, belum ada tanggapan resmi dari pihak Presiden Jokowi maupun aparat penegak hukum terkait tuduhan serius ini.
Secara keseluruhan, isu “penyanderaan” ini telah membuka kotak Pandora tentang bagaimana transisi kekuasaan di Indonesia berlangsung. Hal ini menjadi pengingat kritis akan pentingnya menjaga prinsip “legowo” dalam berpolitik dan memastikan bahwa Presiden yang baru dapat menjalankan mandat rakyat secara independen, tanpa bayang-bayang atau beban dari era kekuasaan sebelumnya. Perkembangan lebih lanjut terkait isu sensitif ini dipastikan akan terus menjadi sorotan publik dan media.