Agama Sebagai Semangat Perubahan
Husnul Hudha (Istimewa)

Oleh : M. Husnul Hudha, SAg
Direktur Bidang Agama Yayasan PETRANAS

Agama dalam kedudukan sebuah ajaran Ilahiah diyakini merupakan jiwa penggerak perubahan dari masa ke masa. Seperti Islam, sebagai ajaran, menempatkan pengikutnya sebagai pemimpin dunia. Islam bukan sekadar ajaran tentang “hari esok,” baik akhirat sebagai tujuan hari esok, namun “hari ini” sebagai sebuah entitas kehidupan dunia, juga harus bisa diraih.

Maka mengikuti ajaran Islam yang benar berdasar Kitabullah Alquran, dan seperti yang diajarkan Nabi dan para Sahabat, menjadi dasar gerak langkah pengikutnya. Bukan secara harfiah saja, tapi lebih pada penyebab yang memungkinkan pengikutnya membimbing dan memimpin wilayah yang begitu luas. Sejarah telah mencatat, di abad pertengahan, bagaimana gerakan perubahan terjadi di Andalusia atau Spanyol, Maroko di wilayah Barat, sampai Filipina dan kepulauan lain di Timur.

Agama dan keimanan dari pengikutnya adalah kekuatan sebuah (kelompok) pergerakan, berpegang teguh pada keyakinan dan berjuang dengan dasar keyakinan agama yang akan menghantarkan tercapainya sebuah cita-cita. Di sisi lain, (tokoh) agama, pada dekade tertentu dianggap sebagai penghambat gerakan perubahan.

Ada semacam opini, perubahan dihadapkan pada status quo, dinamika pada keadaan statis dan modernisasi berhadapan dengan tradisi. Namun begitu, sejarah Indonesia juga mencatat, pada awal abad 20-an semangat gerakan perubahan lahir dari kalangan santri dari pesantren sekaligus pelajar.

Di balik kejumudan lembaga agama, seringkali muncul tokoh agama untuk merumuskan “ajaran-ajaran baru” yang membawa perubahan pada kehidupan masyarakat. Sekadar ingat saja ada gerakan perubahan yang terjadi, di Bogor ada Serikat Dagang Islamiyah, di Solo ada Serikat Dagang Islam, Serikat Islam di Surabaya, Muhammadiyah di Yogyakarta.

Hanya menyebut saja beberapa gerakan sosial, kendati Serikat Islam kemudian menjadi gerakan politik. Bahkan Kemerdekaan Indonesia, yang setiap 17 Agustus kita peringati, adalah juga contoh nyata gerakan perubahan yang terwujud oleh ketokohan dan dominasi semangat keagamaan.

Terlalu jauh memang menggeret sejarah itu dalam tulisan singkat ini. Juga bukan mengajak pada sebuah romantisme sentimentil, apalagi apa yang terjadi di pertengahan abad dan di awal abad 20 tersebut berbeda latar belakang dan suasana kebatinannya. Sekadar sebagai sebuah “muhaiminan alaihi” dalam langkah gerakan perubahan, bisa untuk melihat sedikit ke belakang.

Bahwa agama sangat “mengakomodir” untuk hadirnya sebuah perubahan, baik skala individu maupun untuk sebuah komunal masyarakat dan negara. Sekadar contoh untuk mengambil dalam Alquran, misalnya perubahan dari status quo QS Ar-Ra’d 13:11, hijrah sebagai semangat perubahan, QS Al-Baqarah 2:218.

Dalam dataran terdekat yang sudah dilalui, di tahun 2000-an sampai 2024 ini seiring terbukanya dialog keagamaan secara global, muncul pula gerakan-gerakan dan paham agama internasional yang bersifat radikal liberal progresif. Pada dataran ini benturan dan rebutan kepentingan antar umat beragama sering menjadi hiasan di pemberitaan.

Meski begitu, agama tetap menjadi sangat menarik yang harus didekati setiap orang. Agama menjadi isu seksi yang akan mendulang rating ketokohan seorang publik figur. Agama dan komunitas agama menjadi pendongkrak eksistensi untuk mengejar kekuatan dan kekuasaan.

Sebagai bagian pilar gerakan perubahan, Petranas menawarkan sebuah gagasan dengan menisbatkan dirinya sebagai Peduli Transformasi Nasional. Transformasi itu satu nafas dengan perubahan. Sebagai sebuah organisasi berskala nasional yang sedang bergeliat, Petranas punya potensi untuk besar seperti organisasi (keagamaan) besar lain yang telah ada. Tugas berat Petranas ke depan, bagaimana agama bisa menjadi ruh dan menggerakkan perubahan, bukan agama menjadi alat untuk mencapai perubahan.

Agama mempengaruhi gerakan, bukan agama dipengaruhi gerakan dalam menuju transformasi. Agama bukan semata-mata dijadikan alat legitimasi kekuatan dan kekuasaan. Tetapi agama diharuskan juga mampu menjadi kekuatan (moral) dalam semangat berkehidupan berbangsa dan bernegara. Agama dijadikan sumber inspirasi sekaligus motivasi dan etika dalam kehidupan.

Sebagaimana dimafhumi, Indonesia dikenal sebagai bangsa yang agamis, yakni bangsa yang menjunjung tinggi nilai dan pengamalan agama dalam kehidupan sehari-hari. Seperti yang diisyaratkan dalam Alquran, bahwa “kesejahteraan suatu negeri, sangat tergantung pada nilai keimanan dan ketaqwaan penduduk yang bersangkutan” (QS Al-A’raf 7:96).

Maka dalam hal ini, untuk menjadikan bangsa dan negara yang beradab dan bermartabat, sejahtera lahir dan batin, sudah sepantasnya tokoh agama dan pengemban amanah kekuasaan ada kerjasama dalam membangun dan menjaga kehidupan keagamaan.

Wallahu a’lam. []

Yogyakarta, 21 Juli 2024