
Sebagai warga Indonesia, saya sering merasa miris ketika mendengar cerita seperti yang disampaikan Tantowi Yahya mengenai pengalamannya melakukan pemeriksaan kesehatan (medical check-up/MCU) di Penang, Malaysia. Banyak dari kita yang langsung berpikir, “Ya, wajar saja, rumah sakit di sana pasti lebih canggih, cepat, murah, dan ramah.” Namun, benarkah kesimpulan ini mencerminkan akar permasalahannya?
Apakah rumah sakit di Indonesia tertinggal karena dokter kita kurang kompeten, teknologi kita usang, atau tenaga medis kita tidak berdedikasi? Saya yakin bukan itu masalah utamanya. Kesenjangan ini bukan disebabkan oleh kelemahan individu, melainkan oleh arah kebijakan dan tata kelola yang belum berpihak—baik dari sisi fiskal, regulasi akreditasi, struktur harga, maupun narasi publik yang dibangun pemerintah.
Berikut pandangan saya mengenai mengapa rumah sakit di Penang tampak lebih unggul, serta apa yang bisa kita pelajari darinya.
1. Kebijakan Fiskal Malaysia: Mendukung, Bukan Membebani
Salah satu kunci keunggulan rumah sakit swasta di Penang terletak pada kebijakan fiskal yang mendorong investasi di sektor kesehatan. Pemerintah Malaysia, melalui lembaga seperti Malaysian Investment Development Authority (MIDA) dan Malaysia Healthcare Travel Council (MHTC), memberikan insentif pajak yang sangat besar kepada rumah sakit yang melayani pasien internasional.
Salah satu insentif utamanya adalah Investment Tax Allowance (ITA), yang memungkinkan rumah sakit mengurangi pajak hingga 100% atas biaya investasi, seperti pembangunan gedung baru, pembelian alat canggih, atau perluasan fasilitas. Dalam beberapa kasus, rumah sakit bahkan dibebaskan dari pajak penghasilan selama beberapa tahun.
Malaysia juga menyediakan Automation Capital Allowance (insentif modal otomasi) bagi rumah sakit yang mengadopsi teknologi otomasi, serta Double Deduction (pengurangan ganda) untuk biaya pelatihan staf dan promosi luar negeri. Kebijakan ini memungkinkan rumah sakit untuk berinovasi tanpa tercekik beban pajak.
Hasilnya? Rumah sakit seperti Gleneagles dan Island Hospital di Penang mampu menghadirkan peralatan medis mutakhir, merekrut tenaga kesehatan tambahan, dan menyediakan layanan yang cepat dan efisien—semuanya dengan harga yang tetap kompetitif.
Sebaliknya, rumah sakit swasta di Indonesia menghadapi beban pajak yang berat. Pajak impor alat medis bisa mencapai 10%, ditambah PPN 11%, PPh Pasal 22 atas impor, bahkan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) yang berkisar 10–20% untuk beberapa kategori alat kesehatan. Sebagai contoh, alat CT-scan senilai Rp1,6 miliar bisa melonjak menjadi Rp2,1 miliar setelah pajak.
Indonesia juga belum memiliki insentif khusus untuk promosi layanan kesehatan ke pasar internasional. Biaya akreditasi pun sepenuhnya dibebankan kepada rumah sakit. Kebijakan ini cenderung menghukum alih-alih mendorong kemajuan rumah sakit yang ingin bersaing secara regional.
2. Akreditasi: Efisiensi Malaysia vs Fragmentasi Indonesia
Proses akreditasi rumah sakit di Malaysia dijalankan oleh Malaysian Society for Quality in Health (MSQH), sebuah lembaga nirlaba yang menawarkan paket akreditasi terpadu. Biaya berkisar RM400.000–RM500.000 (sekitar Rp1,4–1,7 miliar), sudah termasuk pelatihan staf, penyusunan dokumen mutu, audit internal, survei lapangan, dan pemantauan pasca-akreditasi. Sistem ini efisien dan memudahkan rumah sakit fokus pada peningkatan mutu layanan.
Sementara itu, di Indonesia, akreditasi dilakukan oleh Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS) dengan pendekatan yang lebih terpecah. Biaya survei awal memang tampak murah—sekitar Rp30–60 juta tergantung kelas rumah sakit—namun banyak komponen biaya tambahan seperti pelatihan, audit internal, dan simulasi yang ditanggung terpisah.
Contohnya, RSUD Panembahan Senopati di Bantul dilaporkan menghabiskan lebih dari Rp7 miliar untuk proses akreditasi dalam tiga tahun. Rumah sakit juga sering harus menggunakan vendor eksternal untuk memenuhi persyaratan akreditasi, yang menambah beban biaya dan kompleksitas.
Perbedaan ini menunjukkan Malaysia memiliki sistem manajemen mutu yang terintegrasi, sedangkan Indonesia masih berkutat dalam sistem yang fragmentatif.
3. Struktur Harga Alat dan Obat: Pajak yang Menghambat Inovasi
Harga alat kesehatan dan obat-obatan juga merupakan faktor penting dalam kesenjangan ini. Di Malaysia, pajak atas alat kesehatan seperti CT-scan atau MRI hanya sekitar 5–6% dan tidak dikenakan PPnBM. Hal ini memungkinkan rumah sakit untuk mengadopsi teknologi terkini dengan biaya yang relatif terjangkau.
Sebaliknya, rumah sakit di Indonesia menghadapi bea masuk, PPN, PPh impor, dan dalam banyak kasus, PPnBM. Meskipun sempat dibebaskan selama pandemi, pajak ini kembali diberlakukan, sehingga menghambat kemampuan rumah sakit untuk berinvestasi dalam teknologi.
Akibatnya, rumah sakit kesulitan menyediakan layanan berbasis teknologi tinggi. Pasien pun memilih berobat ke luar negeri seperti Penang, di mana mereka bisa mendapatkan layanan modern dengan harga lebih masuk akal.
4. Narasi Publik: Malaysia Membanggakan, Indonesia Mencurigai
Di Malaysia, pemerintah aktif mempromosikan rumah sakit swasta sebagai kebanggaan nasional. MHTC didirikan khusus untuk memasarkan layanan kesehatan Malaysia secara global. Kampanye promosi menonjolkan kualitas layanan, keterjangkauan, dan keramahan sebagai daya tarik utama. Rumah sakit seperti Island Hospital dan Gleneagles menjadi simbol kemajuan, bukan semata entitas bisnis.
Sebaliknya, di Indonesia, narasi publik tentang rumah sakit dan tenaga medis cenderung bernada negatif. Media sering menyoroti kasus malpraktik secara berlebihan. Pejabat publik pun kerap menyebut rumah sakit swasta sebagai “mafia” atau “berorientasi keuntungan.” Istilah seperti “fraud” lebih sering digaungkan daripada “pengabdian” atau “kualitas.”
Narasi ini perlahan menggerogoti kepercayaan publik terhadap sistem kesehatan nasional. Akibatnya, masyarakat—terutama yang mampu secara finansial—lebih memilih layanan kesehatan luar negeri, bukan karena layanan dalam negeri buruk, melainkan karena kepercayaan sudah melemah.
5. Ketidakpercayaan Melemahkan Ekosistem Kesehatan
Kepercayaan adalah fondasi utama dalam sistem kesehatan. Tanpa kepercayaan, investor enggan menanamkan modal, tenaga medis tidak terdorong untuk berkembang, dan pasien ragu memanfaatkan layanan dalam negeri.
Padahal, tenaga kesehatan Indonesia dikenal memiliki dedikasi tinggi. Dokter dan perawat kita sering bekerja dalam keterbatasan, namun tetap memberikan pelayanan terbaik. Jika arah kebijakan lebih berpihak—dengan insentif pajak, sistem akreditasi yang efisien, serta narasi publik yang positif—saya yakin rumah sakit di Indonesia dapat sejajar, bahkan melampaui rumah sakit di Penang.
Kesimpulan: Arah Kebijakan Harus Berpihak
Kesenjangan antara rumah sakit di Penang dan Indonesia bukan karena kekurangan sumber daya manusia, melainkan karena arah kebijakan yang belum mendukung. Malaysia telah menunjukkan bahwa sektor kesehatan bisa menjadi kebanggaan nasional jika didukung kebijakan fiskal yang tepat, sistem regulasi yang efisien, dan narasi publik yang membangun kepercayaan.
Indonesia perlu belajar, bukan sekadar meniru, tetapi menciptakan ekosistem yang mendukung rumah sakit dalam negeri untuk tumbuh dan bersaing. Dokter kita tidak kalah cerdas, perawat kita tidak kalah berdedikasi, dan masyarakat kita layak mendapatkan layanan kelas dunia di tanah air sendiri.
Yang dibutuhkan hanyalah keberpihakan: dalam kebijakan, dalam regulasi, dan dalam cara kita memandang sistem kesehatan kita sendiri.
Daftar Pustaka
- Malaysian Investment Development Authority (MIDA). Guidelines for Investment Tax Allowance for Medical Tourism Sector. 2022.
- Malaysia Healthcare Travel Council (MHTC). Malaysia Healthcare Flagship Hospital Programme. 2023.
- ACCA Global. Advanced Taxation (Malaysia Variant) Technical Article: Investment Incentives.
- Ernst & Young Malaysia. Income Tax (Exemption) Order 2020 – Medical Tourism Incentives. 2021.
- PwC Malaysia. Budget 2024 Highlights: Incentives for Healthcare Sector. Oktober 2023.
- Deloitte Malaysia. Budget 2023 & 2024: Capital Allowances for Automation in Healthcare Sector.
- Disway.id. “Tantowi Yahya Bongkar Alasan Pilih MCU di RS Penang: Cepat, Canggih, Murah Pula.” 2024.
- UGM. Analisis Biaya Mutu dan Akreditasi Rumah Sakit di RSUD Panembahan Senopati. Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia. 2017.
- Kompendium Tarif KARS. Petunjuk Teknis Pembiayaan Akreditasi Rumah Sakit. Edisi Revisi 2016.
- Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu. Struktur Pajak dan Tarif PPnBM Alkes. 2023.
- Kompas.com. “DPR Desak Pemerintah Kaji Pajak Barang Mewah untuk Alat Kesehatan.” 2022. []