
Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2024 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan memicu perdebatan sengit. Di satu sisi, kebijakan ini diklaim sebagai amanat undang-undang. Di sisi lain, kritik mencuat dari berbagai kalangan, terutama karena dianggap tidak mempertimbangkan kondisi sosial-ekonomi masyarakat yang saat ini masih rentan.
Ketua Forum Tanah Air (FTA) Yogyakarta, Sarmidi, dengan tegas mengkritik kebijakan tersebut. “Kami mengapresiasi komitmen pemerintah dalam menjalankan undang-undang, tetapi kebijakan seperti ini seharusnya mempertimbangkan kondisi sosial masyarakat dan situasi ekonomi yang ada,” ujarnya.
Menurut Sarmidi, kenaikan PPN berdampak langsung pada penurunan daya beli masyarakat hingga 15 persen, menyebabkan harga barang melonjak, dan barang serta jasa semakin sulit dijangkau. “Ini seperti langkah mundur dari kebijakan pro-rakyat yang sebelumnya diambil pemerintah,” tambahnya.
Sarmidi merinci tiga dampak besar dari kenaikan PPN ini:
- Lesunya Pariwisata
Dengan pendapatan yang hanya cukup untuk kebutuhan pokok, masyarakat cenderung memangkas pengeluaran non-esensial, termasuk wisata. Dampaknya dirasakan sektor transportasi, kuliner, perhotelan, hingga produsen suvenir. - Kebangkrutan Industri
Penurunan daya beli masyarakat mempersempit pasar bagi produk industri. Akibatnya, banyak pabrik kehilangan pasar dan terpaksa melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) besar-besaran. - Lonjakan Kemiskinan
Gelombang PHK berpotensi meningkatkan angka kemiskinan. Ketergantungan pada bantuan sosial semakin tinggi, menciptakan pola “pemeliharaan kemiskinan” yang melemahkan daya tahan ekonomi kelas menengah—kelompok yang selama ini menjadi penopang utama ekonomi nasional.
Sarmidi juga mengingatkan masyarakat akan pidato pelantikan Prabowo Subianto yang penuh janji untuk memperjuangkan kepentingan rakyat. Namun, ia mempertanyakan sejauh mana Prabowo berani mengambil sikap terhadap kebijakan kenaikan PPN ini.
“Publik menantikan tindakan nyata. Jika Prabowo tidak bertindak, maka ini menjadi pertanyaan besar tentang komitmennya untuk melindungi rakyat,” ujar Sarmidi.
Dengan dampak sosial-ekonomi yang begitu luas, kebijakan ini mendesak untuk ditinjau kembali. Apakah pemerintah akan memprioritaskan kepentingan rakyat atau tetap melanjutkan kebijakan yang dianggap memberatkan?
Kini, saatnya pemerintah, terutama Prabowo Subianto, menunjukkan keberpihakannya. Tindakan nyata sangat dinantikan untuk memastikan kesejahteraan masyarakat tetap menjadi prioritas utama. []