Gema Dakwah Digital Yang Terbungkam: Ketika Tuduhan Usang Membelenggu Kebebasan

Sebuah acara keagamaan dan edukasi yang berfokus pada pemanfaatan teknologi dalam dakwah, baru-baru ini menjadi sorotan publik. Acara ini mengundang sejumlah tokoh terkemuka seperti Gus Nur, Roy Suryo, dan Dr. Tifa untuk berbagi pandangan. Namun, bukannya berjalan lancar, acara tersebut justru berubah menjadi arena kontroversi dan, pada akhirnya, dihalangi. Kisah ini bukan hanya tentang pembatalan, tetapi juga tentang benturan antara kebebasan berekspresi dan momok tuduhan politik yang berulang.

 

Acara Gus Nur, Roy Suryo, Dr. Tifa Di Malang Dibubarkan. Siapa Bermain?

Jokowi sudah hampir setahun lengser. Tapi cengkeramannya masih terasa hingga aparat di daerah. Acara Rihlah Sinergi Dakwah ke-6 di Malang, dibubarkan.

Gerombolan yang mengaku warga sekitar hotel mengatakan, mereka menolak Roy Suryo, Gus Nur, dr. Tifa dan Ustadz Andri Kurniawan yang dihadirkan sebagai pembicara. Alasannya mereka selalu memecah belah, memprovokasi, intoleran, radikal, dan menyebarkan faham khilafah.

Petugas Polri yang ada di lokasi diduga cenderung memberi “bola lambung” kepada warga. Sedangkan arapat Korem bersikap profesional dan proporsional. Roy Suryo, Gus Nur, dan pengacara Abdullah Alkatiri menduga kuat ada  Jokowi di belakang peristiwa ini.

 

Ketika Panggung Diganti Barikade

Para pembicara dan penyelenggara telah mempersiapkan diri untuk diskusi yang mencerahkan tentang bagaimana teknologi dapat menjadi alat yang kuat untuk menyebarkan nilai-nilai keagamaan. Namun, di tengah persiapan, ketegangan mulai muncul. “Kami ingin memanfaatkan teknologi untuk menyebarkan pesan damai dan edukatif. Ini adalah masa depan dakwah,” ujar Edy Mulyadi salah satu penyelenggara,

Sayangnya, niat baik itu terbentur keras oleh kenyataan di lapangan. Sekelompok warga setempat dan pihak berwenang tertentu hadir bukan sebagai peserta, melainkan sebagai penghalang. Mereka melancarkan tuduhan serius terhadap para pembicara, terutama yang secara spesifik menargetkan Gus Nur. Tuduhan yang dilontarkan sungguh berat: radikal, intoleran, dan mempromosikan khilafah.

Pihak penyelenggara dan narasumber seketika merespons dengan keras. Mereka merasa dituduh secara membabi buta. “Tuduhan itu tidak berdasar dan ketinggalan zaman. Ini mengingatkan kami pada taktik represif yang kami alami pada masa pemerintahan sebelumnya di bawah Presiden Joko Widodo,” kata Gus Nur dengan nada tegas, langsung menghubungkan insiden ini dengan dinamika politik masa lalu. Mereka bersikeras bahwa acara tersebut tidak melanggar hukum dan murni kegiatan keagamaan-edukasi.

 

Kegagalan Perlindungan dan Sorotan Hukum

Inti masalah semakin meruncing ketika peran penegak hukum dipertanyakan. Panel diskusi yang kemudian diadakan menyoroti bagaimana polisi dan pemerintah daerah gagal melindungi acara yang sah tersebut. Sebaliknya, mereka dituduh berpihak pada para pengunjuk rasa dan menyalahgunakan peraturan untuk membenarkan intervensi yang berujung pada pembatalan acara.

Para ahli hukum yang berpartisipasi dalam diskusi tersebut memberikan penekanan tajam pada aspek legalitas. “Acara ini sah, telah diberitahukan dengan semestinya. Setiap upaya untuk mengganggunya adalah tindakan intimidasi dan merupakan pelanggaran serius terhadap hukum Indonesia,” jelas Abdullah Alkatiri seorang ahli hukum, sekaligus menegaskan bahwa hak konstitusional untuk berkumpul dan berpendapat telah dilanggar.

Mereka juga menyuarakan harapan akan perubahan. “Presiden kita saat ini adalah Prabowo Subianto, yang seharusnya menghormati kebebasan beragama dan hak konstitusional. Perilaku aparat yang seperti ini adalah sisa-sisa buruk yang harus dihentikan,” ujar Roy Suryo, menyiratkan bahwa di bawah pemerintahan yang baru, praktik-praktik opresif masa lalu harusnya sudah tidak berlaku lagi.

 

Seruan untuk Keadilan dan Reformasi

Diskusi ini tidak hanya membahas insiden spesifik, tetapi juga menyentuh isu yang lebih luas: penyalahgunaan kekuasaan dan persistensi ketegangan politik dan sosial dari rezim sebelumnya. Para pembicara sepakat bahwa ini adalah pertanda bahwa penegakan hukum harus menegakkan keadilan dan netralitas tanpa memandang afiliasi politik atau pandangan keagamaan.

Mereka menekankan komitmen mereka terhadap dialog damai, penggunaan teknologi yang bertanggung jawab dalam dakwah, dan pentingnya menghormati kebebasan demokratis, sembari dengan lantang mengutuk kekerasan dan intimidasi. “Kami tidak akan mundur dari komitmen kami untuk berdakwah secara damai dan bertanggung jawab. Kami mengutuk semua bentuk kekerasan dan intimidasi yang bertujuan membungkam suara kami,” tegas Gus Nur.

Peristiwa ini diakhiri dengan seruan mendesak untuk reformasi di kepolisian. Segera hentikan perilaku kuno yang merusak kerukunan beragama dan demokrasi di Indonesia. Insiden ini menjadi pengingat yang menyakitkan: kebebasan berpendapat dan beragama di Indonesia masih rapuh, dan momok tuduhan usang dapat dengan mudah digunakan untuk membungkam suara-suara yang kritis atau berbeda.

video selengkapnya dapat disimak di :