
Oleh : Duryat, S. Ag
Direktur Eksekutif bidang Wakaf, Zakat, Infaq dan Sedekah Pengurus Pusat Petranas
Agama Islam memiliki tiga pilar sebagai landasan umatnya dalam menjalani kehidupan, di antaranya adalah akidah, akhlak, dan syariah. Akidah dan akhlak bersifat konstan/tetap dan tidak tergerus oleh berbagai faktor perubahan zaman. Sedangkan syariah bersifat fleksibel. Kegiatan syariah terbagi ke dalam dua bagian, yaitu ibadah dan muamalah. Ibadah merupakan hubungan manusia dengan Tuhan, sedangkan muamalah merupakan hubungan manusia dengan manusia.
Ruang lingkup muamalah dalam kehidupan mencakup banyak hal, salah satu yang terpenting adalah kegiatan ekonomi. Dalam ekonomi Islam, terdapat banyak instrumen yang dapat dijadikan sebagai media pemberdayaan umat menuju kehidupan yang sejahtera seperti WAZIS (Wakaf, Zakat, Infaq, dan Shodaqoh).
Dari keempat instrumen tersebut, wakaf memiliki peranan yang sangat penting sebagai salah satu sumber dana sosial yang berkaitan dengan kesejahteraan umat di samping zakat, infaq, dan sedekah. Sejak datangnya agama Islam di Indonesia pada abad ke-7 Masehi, perwakafan tanah telah ada dan berlaku dalam masyarakat Indonesia berdasarkan hukum Islam dan hukum adat, meski belum ada peraturan perundangan tertulis yang mengaturnya.
Adapun benda yang diwakafkan pada waktu itu umumnya adalah benda-benda tak bergerak (seperti tanah) dan eksistensi wujudnya akan terus ada hingga akhir zaman. Tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian besar rumah ibadah, perguruan Islam, dan lembaga-lembaga keagamaan Islam lainnya dibangun di atas tanah wakaf. Namun, sangat disayangkan bahwa persepsi sebagian besar masyarakat Muslim di Indonesia mengenai objek wakaf masih terbatas pada tanah dan bangunan, padahal wakaf uang tunai memiliki potensi yang sangat besar.
Menurut perhitungan Badan Wakaf Indonesia (BWI), potensi wakaf uang di Indonesia mencapai Rp120 triliun per tahun dengan asumsi ada 100 juta warga negara Indonesia mewakafkan uangnya sebesar Rp100 ribu per bulan. Sementara itu, mantan Ketua Umum Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI) tahun 2005, Mustafa Edwin Nasution, mengungkapkan potensi wakaf uang di Indonesia sangat besar, bisa mencapai Rp20 triliun per tahun.
Menurutnya, jika 10 juta umat Muslim di Indonesia mewakafkan uangnya mulai dari Rp1.000 sampai Rp100 ribu per bulan, minimal dana wakaf uang yang akan terkumpul selama setahun bisa mencapai Rp2,5 triliun. Bahkan, jika sekitar 20 juta umat Islam di Tanah Air mewakafkan hartanya sekitar Rp1 juta per tahun, potensi wakaf uang bisa mencapai Rp20 triliun.
Di antara faktor penyebab kurangnya kesadaran masyarakat terhadap wakaf uang adalah minimnya pemahaman masyarakat terhadap wakaf uang itu sendiri. Masyarakat pada umumnya masih beranggapan bahwa wakaf berupa harta tetap atau tidak habis pakai. Hal ini menjadi kendala sosialisasi hukum wakaf tunai, khususnya di perdesaan. Masyarakat masih beranggapan wakaf adalah harta tak bergerak, seperti tanah, masjid, atau kuburan. Sehingga literasi terkait hukum wakaf uang tunai berdasarkan perspektif Islam sangatlah penting.
Jika ditilik pada sumber hukum Islam yang pertama, yaitu Al-Qur’an, terdapat beberapa ayat yang dapat digunakan sebagai landasan diperbolehkannya wakaf uang tunai, di antaranya adalah Surat Ali Imran ayat 92 yang artinya: “Kamu tidak akan memperoleh kebaikan, kecuali kamu belanjakan sebagian harta yang kamu senangi.”
Ayat di atas merupakan anjuran dari Allah agar kaum Muslimin menginfakkan harta yang disenangi. Menginfakkan harta yang disenangi merupakan sebuah pengorbanan besar dari seorang Muslim terhadap agama Allah. Dalam konteks ini, perbuatan wakaf termasuk mengorbankan harta yang dicintai. Wakaf tunai adalah salah satu bentuk pengorbanan tersebut. []