
Surya Guntur Alam
Ketua Petranas DIY
Pembangunan suatu negara idealnya tidak hanya berorientasi pada pencapaian materi, tetapi juga pada kebahagiaan warganya. Kebahagiaan, sebagaimana dijelaskan oleh Al-Farabi dalam kitab Tahsil al-Saadah, adalah puncak kebaikan atau absolute good. Menurutnya, kebahagiaan suatu negara berasal dari kebahagiaan individu-individu yang menjadi warganya. Oleh karena itu, setiap langkah pembangunan seharusnya didasarkan pada prinsip menciptakan kebaikan yang berkelanjutan, sebab dari kebaikan itulah kebahagiaan dapat terlahir.
Kebahagiaan dalam Perspektif Filsafat dan Spiritualitas
Pemikiran Al-Farabi memberikan landasan filosofis yang kokoh untuk memandang kebahagiaan sebagai tujuan akhir dalam kehidupan manusia dan kehidupan bernegara. Dalam ajaran Islam, kebahagiaan (sa’adah) juga memiliki dimensi duniawi dan ukhrawi. Kebahagiaan sejati dicapai ketika keseimbangan antara aspek spiritual, sosial, dan material dapat diraih. Negara, sebagai institusi yang memayungi warganya, memiliki tanggung jawab moral untuk menciptakan lingkungan yang mendukung tercapainya kebahagiaan tersebut.
Dalam hal ini, konsep kebahagiaan tidak hanya menjadi tanggung jawab individu, tetapi juga tugas kolektif. Para pemimpin, ulama, dan masyarakat harus bersama-sama memastikan bahwa kebijakan yang diambil tidak sekadar menguntungkan segelintir kelompok, tetapi mendatangkan manfaat luas yang mampu memberikan kebahagiaan bagi seluruh lapisan masyarakat.
Gross National Happiness: Inspirasi dari Bhutan
Konsep Gross National Happiness (GNH) yang diadopsi oleh Bhutan merupakan salah satu contoh nyata penerapan prinsip kebahagiaan dalam pembangunan negara. Berbeda dengan paradigma pembangunan yang hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi semata, Bhutan menjadikan kebahagiaan rakyat sebagai indikator utama kesuksesan nasional. Konsep GNH menekankan empat pilar utama, yakni:
- Pembangunan sosial ekonomi yang berkelanjutan dan merata,
- Pelestarian budaya,
- Pelestarian lingkungan, dan
- Tata kelola pemerintahan yang baik.
Pendekatan ini menawarkan pandangan alternatif bagi negara-negara lain, termasuk Indonesia, untuk meninjau ulang indikator keberhasilan pembangunan. Dalam konteks Indonesia, konsep ini relevan dengan semangat Pancasila, khususnya sila kedua dan kelima, yang menekankan pentingnya kemanusiaan yang adil dan beradab serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
Kebahagiaan sebagai Indikator Global
Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah mengakui pentingnya kebahagiaan dengan mengadopsi Resolusi 66/281, yang menetapkan tanggal 20 Maret sebagai Hari Kebahagiaan Internasional. Pengakuan ini menunjukkan bahwa kebahagiaan bukan hanya persoalan individu, tetapi juga agenda global. Semakin banyak negara yang menyadari bahwa pembangunan ekonomi semata tidak cukup untuk menciptakan masyarakat yang makmur. Kebijakan yang humanis dan berorientasi pada kesejahteraan kolektif semakin dianggap sebagai standar baru keberhasilan sebuah negara.
Indonesia dapat mengambil pelajaran penting dari hal ini. Alih-alih fokus pada Produk Domestik Bruto (PDB) semata, kita dapat mengadopsi pendekatan holistik yang memperhatikan kesejahteraan psikologis, kesehatan, pendidikan, dan keberlanjutan lingkungan. Dengan cara ini, kebijakan publik dapat lebih diarahkan untuk menciptakan masyarakat yang tidak hanya sejahtera secara materi, tetapi juga bahagia secara spiritual dan sosial.
Mewujudkan Kebahagiaan dalam Pembangunan Indonesia
Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadikan kebahagiaan sebagai tujuan pembangunan nasional. Dengan kekayaan budaya, nilai-nilai keagamaan yang kuat, dan semangat gotong royong, bangsa ini memiliki fondasi yang kokoh untuk membangun kebahagiaan warganya. Namun, upaya ini memerlukan keberanian untuk merombak paradigma pembangunan yang selama ini terlalu berpusat pada angka-angka pertumbuhan ekonomi.
Pertama, pemerintah perlu menjadikan kebahagiaan sebagai indikator utama dalam menyusun kebijakan publik. Pengukuran kebahagiaan dapat mencakup berbagai aspek, seperti tingkat kepuasan hidup, keseimbangan kerja-hidup, akses terhadap pendidikan dan kesehatan, serta rasa aman dalam masyarakat.
Kedua, nilai-nilai budaya lokal dan agama perlu dijadikan acuan dalam menciptakan kebijakan yang mendukung kebahagiaan. Islam, misalnya, mengajarkan pentingnya keseimbangan antara kebutuhan duniawi dan ukhrawi. Konsep ini dapat diterapkan dalam kebijakan pendidikan, ekonomi, dan lingkungan, sehingga pembangunan yang dilakukan tidak hanya berorientasi pada keuntungan jangka pendek, tetapi juga keberlanjutan jangka panjang.
Ketiga, masyarakat harus didorong untuk menjadi bagian aktif dalam menciptakan kebahagiaan kolektif. Hal ini dapat dilakukan melalui penguatan solidaritas sosial, pengembangan komunitas berbasis nilai-nilai luhur, dan pemberdayaan masyarakat di berbagai bidang.
Penutup
Kebahagiaan bukanlah sesuatu yang utopis, tetapi tujuan yang dapat diraih jika seluruh elemen masyarakat dan negara bersinergi. Sebagaimana yang diajarkan oleh Al-Farabi, kebahagiaan adalah puncak dari kebaikan. Dalam konteks negara, kebahagiaan warganya adalah ukuran sejati kesuksesan. Dengan mengambil inspirasi dari konsep Gross National Happiness dan memperkuat nilai-nilai agama serta budaya, Indonesia dapat menjadi bangsa yang tidak hanya maju secara ekonomi, tetapi juga bahagia dan sejahtera dalam arti yang sesungguhnya.
Semoga upaya ini dapat membawa keberkahan dan kebahagiaan yang hakiki bagi seluruh rakyat Indonesia. []