KEBIASAAN MEMBACA BUKU YANG MASIH RENDAH
Ilustrasi membaca buku (Istimewa)

Berdasarkan laporan World Population Review (2025), ada sepuluh negara yang penduduknya dikenal paling gemar membaca buku setiap tahun, diukur dari jumlah buku yang dibaca dan durasi waktunya:

  1. Amerika Serikat: 17 buku, 357 jam
  2. India: 16 buku, 352 jam
  3. Inggris: 15 buku, 343 jam
  4. Prancis: 14 buku, 305 jam
  5. Italia: 13 buku, 278 jam
  6. Kanada: 12 buku, 232 jam
  7. Rusia: 11 buku, 223 jam
  8. Australia: 10 buku, 217 jam
  9. Spanyol: 9 buku, 187 jam
  10. Belanda: 8 buku, 182 jam

Negara-negara maju, terutama di Eropa, menunjukkan budaya baca yang kuat, dengan rata-rata satu buku per bulan. India tercatat sebagai satu-satunya wakil dari Asia dalam daftar ini, sementara Indonesia hanya berada di peringkat ke-30 dunia. Di Asia Tenggara, Singapura menduduki posisi ke-13, jauh di atas Indonesia.

Data UNESCO pernah menyebutkan bahwa minat baca di Indonesia sangat rendah, hanya 0,001% penduduk yang benar-benar rajin membaca. Artinya, dari setiap 1.000 orang, hanya satu yang memiliki kebiasaan membaca secara rutin. Angka ini sungguh memprihatinkan.

Sayangnya, membaca belum menjadi bagian dari keseharian masyarakat Indonesia, bahkan di kalangan mereka yang berpendidikan tinggi. Jarang kita temui orang membaca buku di tempat umum seperti kereta, pesawat, taman, atau saat mengantre. Ada beberapa alasan mengapa minat baca kita masih rendah:

  1. Kurangnya kesadaran akan manfaat membaca bagi pengembangan diri dan kehidupan
  2. Minimnya teladan dan lingkungan yang mendukung kebiasaan membaca
  3. Dominasi teknologi digital, di mana banyak orang lebih memilih menghabiskan waktu dengan ponsel pintar ketimbang buku
  4. Keterbatasan akses ke perpustakaan yang nyaman dan koleksi buku yang memadai

Jika kita melihat negara lain, koleksi buku menjadi cerminan tingkat literasi mereka. Di Tiongkok, tersedia 20 juta buku di perpustakaan umum. British Library memiliki 13,5 juta buku, sementara Universitas Oxford menyimpan 13 juta buku digital, plus koleksi manuskrip dan buku langka. Di Finlandia, perpustakaan tersedia setiap 3 km dari permukiman warga, dan anak-anak sejak dini sudah dibiasakan mendengar dongeng dari buku. Islandia bahkan mendekati tingkat literasi sempurna, dengan tradisi menulis buku harian yang kuat.

Sementara itu, Indonesia, dengan populasi 282 juta, hanya memiliki 4 juta buku—jauh tertinggal dibandingkan Malaysia (4,3 juta buku untuk 34 juta penduduk) atau Singapura (1,7 juta buku digital untuk 5,8 juta penduduk).

Negara kita tampaknya belum serius menangani urusan literasi. Perpustakaan sekolah sering kali tidak menarik, dengan koleksi yang minim dan jarang dikunjungi. Padahal, kualitas sebuah bangsa ditentukan oleh kualitas manusianya, dan membaca adalah kunci untuk membuka pintu ilmu pengetahuan. Tanpa budaya baca, sulit bagi sebuah bangsa untuk mencapai pencerahan intelektual dan moral. Bangsa yang lemah dalam literasi rentan terjebak dalam pemikiran yang keliru, mudah dipengaruhi oleh hoaks, propaganda, atau manipulasi informasi.

Membaca bukan sekadar mengisi waktu, tetapi melatih jiwa dan akal sehat. Hanya dengan membaca satu jam sehari—atau sekitar 4% dari waktu kita—kita bisa meningkatkan kualitas hidup secara signifikan. Membaca membantu kita mengenali ketidakjujuran, menajamkan nalar, dan membangun pemikiran kritis. Tanpa membaca, kita mudah terjerumus ke dalam mitos, takhayul, atau berita bohong yang merusak akal sehat.

Sejarah bisa diputarbalikkan, bahasa bisa dimanipulasi, dan kebenaran bisa dikaburkan jika kita tidak memiliki budaya membaca yang kuat. Membaca adalah nutrisi bagi otak, fondasi untuk membangun kecerdasan dan kepekaan sosial. Orang yang terbiasa membaca memiliki cara pandang yang berbeda—lebih kritis, dan lebih mampu mendeteksi ketidakadilan di sekitarnya.

Mari kita mulai membiasakan diri membaca setiap hari. Satu buku, satu jam, adalah langkah kecil yang bisa mengubah hidup kita dan masa depan bangsa.

Yayasan Petranas DIY