
Oleh : Dwi Yuniati, Penulis Senior
Hujan turun membasahi bumi, namun tidak sedingin hatiku yang telah membeku. Setiap tetes air yang jatuh seakan menjadi pengingat akan dentuman yang menusuk, mengoyak, dan meremukkan. Sebuah suara yang tidak bisa kuhilangkan dari ingatanku, suara yang memekakkan telinga dan menjeritkan protes dari lubuk hatiku yang terdalam. Mengapa? Pertanyaan itu terus berputar, berulang tanpa henti. Mengapa harus suamiku? Mengapa bukan orang lain? Protes itu tidaklah adil, tetapi itulah yang kurasakan. Di dalam ketidakberdayaan ini, hanya amarah dan kesedihan yang bisa kurangkul.
Dengan tangan gemetar, aku mendekap putraku yang meronta. Tangannya yang mungil berusaha menggapai pundak bapaknya, seakan-akan ia tahu bahwa perpisahan ini adalah selamanya. Pakaian yang dikenakannya hari ini, kaus kesayangan yang dibelikan oleh ayahnya, terasa begitu dingin di kulitku. Bau deterjen dan aroma khas suamiku masih menempel, menciptakan nostalgia yang menyakitkan. Aku tahu ia ingin berlari, mengejar sang ayah yang kian menjauh. Tetapi, aku hanya bisa memeluknya erat, menenggelamkan wajahku di pundaknya, mencoba menahan air mata yang tumpah.
Aku melihat punggung suamiku yang semakin mengecil, hingga akhirnya menghilang di sudut jalan yang melengkung. Ojek yang membawanya pergi kini tak lebih dari sebuah bayangan yang pudar. Seolah-olah separuh dari duniaku telah tercabut dan pergi bersamanya. Ada lubang yang menganga di dalam dadaku, ruang kosong yang kini ditempati oleh hampa dan kesepian. Aku ingin berteriak, memanggil namanya, tetapi suaraku seakan tercekat. Dunia di sekitarku terasa sepi, meskipun kehidupan terus berjalan.
Rintik hujan mulai terasa. Dinginnya menusuk, menusuk hingga ke tulang. Jalanan yang tadinya ramai kini lengang. Aku berjalan pulang, langkahku terasa berat. Setiap tapak yang kuinjak terasa seperti sebuah beban, sebuah pengingat akan kenyataan yang harus kuhadapi. Perasaan hampa itu begitu nyata, begitu pekat, seolah-olah ia bisa kuraba. Dulu, jalan ini adalah saksi bisu kebahagiaan kami. Kini, ia menjadi saksi perpisahan yang menyakitkan.
Sinar matahari mulai sirna, digantikan oleh temaram lampu pos ronda di ujung jalan. Cahaya yang remang-remang itu tidak mampu mengusir kegelapan yang menyelimuti hatiku. Hanya ada aku, seorang diri, di bawah langit yang muram. Pikiranku berkelana, kembali ke masa-masa indah yang pernah kami miliki. Tawa, tangis, suka, duka. Semuanya kini hanya tinggal kenangan. Aku merasa seperti sebuah buku yang halamannya robek, cerita yang belum selesai, tetapi sudah terlanjur diakhiri.
Aku melamun lagi. Betapa mudahnya pikiranku hanyut dalam kenangan. Seperti seorang pemabuk yang tak bisa berhenti menenggak minuman, aku tak bisa berhenti meratapi kepergiannya. Anaku merengek, memecah lamunanku. Suara rengekan itu seolah-olah sebuah alarm, mengingatkanku bahwa ada kehidupan yang harus kujalani, ada sosok kecil yang bergantung padaku. Tetapi, rasanya begitu berat, begitu mustahil. Bagaimana bisa aku menjadi kuat saat hatiku hancur berkeping-keping?
Dari kejauhan, kudengar deru knalpot motor. Suara itu begitu familiar. Itu adalah tetanggaku, Pak Budi, yang berangkat ke pasar seperti biasa. Suara itu perlahan menjauh, menyisakan keheningan. Kehidupan orang lain terus berjalan, tetapi hidupku seolah berhenti. Aku merasa seperti seorang penonton, menyaksikan orang lain melanjutkan peran mereka, sementara aku terjebak dalam adegan yang sama, berulang kali. Setiap suara, setiap bayangan, seakan-akan kembali mengingatkanku pada suamiku.
Malam semakin larut. Lampu-lampu jalan mulai padam. Aku duduk di teras, menatap ke arah gerbang. Aku tidak tahu apa yang kuharapkan. Mungkin aku hanya berharap ia kembali, membawa senyumnya yang hangat, memelukku erat, dan berkata, “Aku pulang.” Tetapi, aku tahu itu tidak akan pernah terjadi. Punggung yang menghilang di sudut jalan itu adalah punggung yang tidak akan pernah kembali. Air mata kembali membasahi pipiku.
Aku tahu, aku harus bangkit. Untuk anakku, untuk diriku sendiri. Tetapi, rasanya terlalu sulit. Setiap inci dari diriku menolak untuk menerima kenyataan ini. Aku masih merasakan kehadirannya di setiap sudut rumah. Di sofa tempat ia biasa membaca koran, di dapur tempat ia sering membuatkan kopi, di tempat tidur kami yang kini terasa begitu kosong. Setiap detail kecil ini adalah sebuah duri yang menusuk, membuatku tak bisa bernapas.
Kepergiannya telah meninggalkan luka yang tidak akan pernah sembuh. Luka yang akan terus ada, mengingatkanku pada cinta yang pernah kami miliki, pada kebahagiaan yang pernah kami rasakan. Aku tahu, waktu akan menyembuhkan. Tetapi, saat ini, aku hanya ingin merasakan sakit ini, memeluknya erat, dan membiarkan diriku tenggelam dalam kesedihan. Karena hanya dengan cara itu, aku merasa ia masih ada di dekatku.