KPU Cabut SK No. 731/2025: Gaduh yang Tidak Perlu
Siska Mariska

Ditulis oleh: Siska Mariska, Pengurus Daerah Propinsi Kepulauan Riau

Batam-Tidak sampai satu bulan setelah diterbitkan, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) akhirnya mencabut Surat Keputusan (SK) KPU No. 731 Tahun 2025 pada hari Selasa, 16 September 2025 melalui konferensi pres. Keputusan ini diambil setelah gelombang kritik deras melanda, baik dari kalangan akademisi, politisi, hingga masyarakat luas.

SK tersebut sebelumnya menjadi sorotan publik karena memuat 16 dokumen syarat pencalonan Presiden dan Wakil Presiden yang dinilai janggal dan menimbulkan tanda tanya besar, salah satunya soal dokumen riwayat hidup, profil singkat, hingga rekam jejak capres-cawapres.

Reaksi publik di jagat maya pun luar biasa. Di platform X (dulu Twitter), tagar “KPU apakah hendak di Nepalkan?” sempat menjadi trending topic. Kritik semakin keras ketika Mpujaya Prema, mantan wartawan Tempo, melalui akun X pribadinya menulis:

“Saran saya KPU segera minta maaf lalu mencabut keputusan yang sudah dibuatnya. Jangan bikin gaduh baru. Kasihan Presiden Prabowo yang terus berupaya membuat negeri ini damai. Lebih baik lagi anggota KPU mundur saja. Lalu kalau mau bantu Gibran yang saat ini ijasahnya digugat, monggo.”

Pernyataan ini jelas memperlihatkan betapa rapuhnya kepercayaan publik terhadap lembaga penyelenggara pemilu yang seharusnya menjaga marwah demokrasi.

Sebagai penulis, saya pribadi merasa heran sekaligus prihatin: mengapa begitu banyak pejabat dan pengelola negara yang seolah tidak pernah menunjukkan sikap profesionalisme terhadap jabatan maupun tugas yang diemban?

Bukankah seharusnya setiap keputusan yang dikeluarkan lembaga negara dipikirkan secara matang, melalui kajian mendalam, dan dengan pertimbangan kepentingan bangsa yang lebih luas? Alih-alih begitu, yang kita lihat justru keputusan serampangan yang menimbulkan kegaduhan publik.

Yang lebih ironis, rasa “malu”—yang mestinya menjadi benteng moral seorang pejabat—seakan hilang dari ruang publik kita. Seolah kegaduhan, kritik, hingga sorotan media tidak lagi berarti apa-apa bagi mereka.

Padahal, dalam konteks penyelenggaraan pemilu, kepercayaan publik adalah modal utama. Tanpa itu, demokrasi hanya tinggal formalitas tanpa jiwa.