Krisis Parlemen dan Moralitas Politik
ilustrasi (istimewa)

Oleh : Aldrin Syn, Pemerhati Kebijakan Publik

Surabaya-Tidak dapat dipungkiri, situasi Parlemen kita seringkali menjadi bahan olok-olokan di negeri-negeri tetangga, sebuah cerminan yang memalukan bagi citra kedaulatan bangsa. Kekecewaan ini bukanlah tanpa dasar; sorotan tajam sering diarahkan pada kualitas para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) itu sendiri, yang seolah-olah gagal memenuhi ekspektasi minimal sebagai representasi intelektual dan moral rakyat yang terpelajar.

Benar adanya bahwa keraguan mengenai kualitas pendidikan para legislator ini kerap muncul ke permukaan. Bahkan jika mereka memegang ijazah sarjana, publik sering mempertanyakan keabsahan dan proses perolehannya, bahkan muncul istilah merendahkan seperti “ijazah pasar pramuka” untuk menyindir dokumen akademik yang didapat tanpa integritas pendidikan yang semestinya, sebuah fenomena yang menunjukkan rendahnya filter yang ada dalam sistem politik kita.

Isu moralitas dan integritas menjadi semakin relevan ketika kita merenungkan pernyataan tokoh terkemuka seperti Pak Mahfud, yang konon pernah berujar bahwa siapapun yang menduduki kursi di parlemen pada akhirnya akan berubah menjadi “iblīs”. Pernyataan ini secara telanjang menyingkap pandangan skeptis bahwa lingkungan kekuasaan, bukan hanya individu, yang memiliki daya koruptif yang sangat kuat, bahkan mampu mengubah sifat dasar seseorang.

Kursi parlemen memang menawarkan iming-iming kekuasaan dan kesenangan duniawi yang luar biasa menggiurkan, mulai dari janji jabatan yang tinggi, limpahan uang dan harta, hingga akses pada perempuan dan kesenangan dunia lainnya. Dengan godaan sebesar itu, sulit untuk menyalahkan individu yang lemah iman; siapa pun, tanpa benteng moral yang kokoh, akan sangat mudah tergoda dan akhirnya terjerumus dalam pusaran kepentingan.

Ironisnya, tarik-menarik antara moralitas religius dan sistem politik demokratis semakin memperumit keadaan. Ketika muncul pandangan bahwa Rasulullah mengharamkan perubahan lewat demokrasi, ini menjadi kontras yang menyakitkan dengan kenyataan di mana mereka yang berusaha konsisten dengan konstitusi justru rentan dituduh pengkhianat. Sementara itu, rezim yang secara terang-terangan menunjukkan pelanggaran terhadap UUD 1945 malah berani memposisikan diri sebagai penjaga utama Pancasila, menciptakan paradoks politik yang memilukan.

Kontradiksi lainnya terletak pada klaim kekayaan negara. Di satu sisi, negara ini sering digembar-gemborkan sebagai “kaya raya” dengan sumber daya alam melimpah, namun di sisi lain, urusan mengurus negara malah terkesan bergantung pada hasil sumbangan rakyat melalui pajak dan berbagai pungutan, menciptakan persepsi publik bahwa kekayaan tersebut tidak dikelola secara efektif atau hanya dinikmati oleh segelintir elit.

Hal terakhir yang perlu direnungkan adalah anggapan banyak orang yang menempatkan UUD 1945 sebagai konstitusi yang sakral, yang dianggap tidak boleh dilanggar dan seolah-olah berdiri sebagai hukum paling suci. Padahal, sejarah perpolitikan modern kita berulang kali menunjukkan bagaimana UUD 1945 telah diobrak-abrik dan dirobek oleh penguasa dan para elit politik, membuktikan bahwa kesakralan sebuah hukum tertinggi hanyalah ilusi ketika berhadapan dengan nafsu kekuasaan yang tak terkendali.